“Katanya Indonesia sudah merdeka, tapi kenapa setiap kebijakan pemerintah terasa seperti penjajahan baru?”
Agustus 2025, bulan yang seharusnya penuh kebanggaan, justru terasa seperti mimpi buruk. Di saat rakyat kesulitan bayar beras dan biaya sekolah, pemerintah justru sibuk menaikkan pajak, menaikkan tunjangan mereka sendiri, dan bahkan memblokir rekening rakyat tanpa sosialisasi yang jelas.
Dan puncaknya, seorang anak bangsa bernama Affan Kurniawan kehilangan nyawanya dalam aksi protes yang seharusnya jadi suara damai rakyat. Ini bukan sekadar berita, ini adalah tanda bahwa ada yang rusak dalam sistem negara kita.
BULAN AGUSTUS 2025 – KEBANGGAAN ATAU KEKECEWAAN?
Agustus selalu identik dengan kemerdekaan. Tapi di tahun ini, yang kita lihat bukanlah rakyat yang bersatu merayakan hari kemerdekaan, melainkan rakyat yang bersatu… melawan pemerintahnya sendiri.
Dalam ilmu politik, ini disebut krisis legitimasi, yaitu saat rakyat mulai kehilangan kepercayaan pada pemerintah.
David Easton, seorang pakar politik, pernah bilang: “Pemerintah hanya bisa bertahan selama rakyat percaya bahwa kekuasaannya sah.”
Pertanyaannya: setelah melihat semua kejadian Agustus ini, masihkah rakyat percaya?
DPR DAN TUNJANGAN FANTASI
Awal Agustus, publik digemparkan oleh kabar tunjangan DPR yang mencapai ratusan juta rupiah per bulan.
Bukan cuma gaji, tapi juga fasilitas mewah yang seolah tak ada batasnya. Di saat yang sama, banyak rakyat yang antre minyak goreng dan mencari pekerjaan yang tak kunjung ada.
Dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), Pasal 245 memang mengatur hak anggota DPR atas tunjangan. Tapi undang-undang itu tidak berarti DPR bebas menentukan jumlah sesuka hati, apalagi tanpa transparansi.
Masalah utama:
- Tidak ada keterbukaan soal perhitungan tunjangan.
- Tidak ada indikator kinerja yang jelas.
- Seolah DPR bekerja untuk diri sendiri, bukan untuk rakyat.
Dampak:
- Kepercayaan terhadap DPR runtuh.
- Demokrasi jadi sekadar panggung sandiwara.
- Muncul seruan boikot Pemilu karena rakyat muak.
Sesuai UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, rakyat berhak tahu kemana uang mereka dibelanjakan.
Tapi DPR seperti sengaja menutup mata dan telinga.
Kalau begini terus, demokrasi hanya jadi topeng untuk oligarki.
PBB NAIK 250% – RAKYAT DIKORBANKAN
Pertengahan Agustus, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, jadi sorotan. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) naik hingga 250% tanpa sosialisasi yang jelas.
Bayangkan, tanah yang diwariskan turun-temurun kini terasa seperti “dirampas” negara sendiri.
Menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 90 ayat (3) mewajibkan pemerintah daerah mempertimbangkan kemampuan wajib pajak sebelum menaikkan tarif.
Artinya, kenaikan pajak yang terlalu ekstrem bisa dianggap melanggar hukum.
Dampak:
- Petani dan pedagang kecil terancam kehilangan tanah mereka.
- Protes rakyat semakin besar, memaksa DPRD membentuk Pansus Pemakzulan terhadap Bupati.
- Stabilitas politik daerah runtuh.
Di sini kita melihat pemerintah daerah melupakan prinsip keadilan sosial yang seharusnya mereka jaga.
Mereka lupa bahwa pajak bukan alat penindasan, tapi alat pembangunan.
104 DAERAH NAIKKAN PBB SERENTAK
Yang bikin lebih parah, ternyata Pati bukan satu-satunya. Ada 104 daerah lain yang juga menaikkan PBB pada bulan yang sama.
Fenomena ini seperti tsunami kebijakan yang menyapu seluruh Indonesia.
Dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat berkewajiban mengawasi dan mengkoordinasi kebijakan daerah.
Tapi yang kita lihat adalah fragmentasi politik, di mana setiap daerah bertindak sesuka hati tanpa peduli dampaknya.
Dampak nasional:
- Ketimpangan antar-daerah semakin lebar.
- Daerah miskin makin miskin, daerah kaya makin kaya.
- Rakyat merasa negara tidak punya arah yang jelas.
Ini adalah contoh nyata policy gap – kesenjangan antara kebijakan pusat dan realitas daerah.
Jika dibiarkan, ini bisa memicu konflik horizontal antar-rakyat maupun antar-daerah.
PATK BLOKIR JUTAAN REKENING
Seakan belum cukup, PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) juga bikin geger dengan memblokir jutaan rekening “tidur”.
Kebijakan ini bertujuan memerangi pencucian uang, sesuai dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya Pasal 44.
Masalahnya?
- Minim sosialisasi.
- Banyak rakyat kecil ikut terdampak karena rekening mereka lama tidak digunakan.
- Tidak ada mekanisme pemberitahuan yang jelas.
Dampak:
- Rakyat kehilangan kepercayaan pada sistem perbankan.
- Banyak yang beralih ke sistem keuangan informal yang lebih sulit diawasi.
- Pemerintah dianggap bertindak otoriter, mengatur uang rakyat seenaknya.
Memberantas korupsi itu wajib.
Tapi ketika rakyat kecil yang jadi korban, kebijakan itu berubah dari solusi jadi masalah baru.
DRAMA POLITIK – SINDIRAN YANG MEMALUKAN
Agustus juga penuh dengan drama politik. Beberapa pejabat sibuk sindir-sindiran di media sosial, saling menyerang bukannya bekerja untuk rakyat.
Menurut UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pejabat publik wajib menjaga wibawa dan martabat jabatannya.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya: politik jadi tontonan murahan, sementara masalah rakyat diabaikan.
Dampak:
- Publik semakin apatis.
- Demokrasi dianggap cuma ajang hiburan, bukan wadah solusi.
Bagaimana rakyat bisa percaya, jika para pemimpinnya sendiri tidak menunjukkan teladan?
DEMO NASIONAL DAN KORBAN JIWA
Kenaikan PBB di 104 daerah memicu gelombang demo di berbagai wilayah.
Di Pati, aksi protes yang awalnya damai berubah ricuh.
Tragisnya, seorang pemuda bernama Affan Kurniawan tewas dalam bentrokan.
Menurut UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, rakyat berhak melakukan demonstrasi selama damai.
Namun, pemerintah juga wajib melindungi keselamatan warga negara.
Meninggalnya Affan adalah bukti bahwa kedua pihak gagal:
- Pemerintah gagal membuka jalur dialog.
- Aparat gagal menjaga keamanan tanpa kekerasan.
- Rakyat kehilangan rasa percaya karena nyawa manusia seolah tak dihargai.
Dampak besar:
- Potensi demo nasional yang lebih besar.
- Risiko instabilitas politik dan ekonomi.
- Citra Indonesia di mata dunia tercoreng.
Affan bukan sekadar nama. Dia simbol dari rakyat yang sudah terlalu sering diabaikan.
Jika pemerintah tidak segera berubah, korban berikutnya hanya tinggal menunggu waktu.
LANGKAH YANG HARUS DIAMBIL
Untuk keluar dari krisis ini, ada tiga langkah penting yang harus segera dilakukan:
- Transparansi Total
- Semua anggaran, termasuk tunjangan DPR, harus dibuka ke publik.
- Sesuai amanat UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
- Semua anggaran, termasuk tunjangan DPR, harus dibuka ke publik.
- Partisipasi Rakyat dalam Kebijakan
- Rakyat harus diajak berdialog sebelum kebijakan pajak atau keuangan diputuskan.
- Ini bukan sekadar teori, tapi bagian dari demokrasi sejati.
- Rakyat harus diajak berdialog sebelum kebijakan pajak atau keuangan diputuskan.
- Etika Politik dan Reformasi Aparat
- Pejabat publik harus berhenti bersandiwara dan fokus pada kerja nyata.
- Aparat keamanan harus dilatih agar demo bisa dijaga tanpa kekerasan.
- Pejabat publik harus berhenti bersandiwara dan fokus pada kerja nyata.
Jika langkah ini tidak diambil, Indonesia akan menghadapi krisis sosial yang jauh lebih besar daripada yang kita lihat di Agustus ini.
KESIMPULAN
Agustus 2025 bukan bulan kemerdekaan, tapi bulan pengingat. Pengingat bahwa kemerdekaan bukan hanya soal mengusir penjajah, tapi juga soal menjaga pemerintah agar tidak berubah menjadi penjajah baru.
Affan Kurniawan mungkin sudah tiada, tapi suaranya masih bergema dalam hati jutaan rakyat yang merasa dikhianati. Pertanyaannya: apakah pemerintah akan mendengar, atau memilih menutup telinga?
Tulis pendapatmu di kolom komentar. Apakah kamu percaya pemerintah masih bekerja untuk rakyat? Atau justru sebaliknya?
Jangan lupa share ke teman-temanmu karena kita akan terus membongkar kebijakan yang memengaruhi masa depan bangsa ini.
Baca juga : Mengejutkan! 580 Juta untuk Kain Hitam Kali Item, Kenapa? – Eduidea
Youtube : AGUSTUS BERDARAH: SAAT RAKYAT DITINGGALKAN, PEMERINTAH SIBUK SENDIRI